Sabtu Bersama Bapak

IMG_20160701_204650_HDR[1]

Bapak saya, meninggalkan kami lebih dari 22 tahun yang lalu. Ketika saya baru lulus dari SD. Anak baru gede, yang belum mengerti apa-apa tentang dunia yang ternyata begitu luas. Mengalihkan beban rumah tangga, kepada kakak lelaki tertua, yang menggembleng dia menjadi seorang luar biasa hebat.

Saya, tak pernah merasakan Sabtu Bersama Bapak. Tak ada rekaman video yang membimbing kami besar dan menjadi acuan untuk bersikap dan menyelesaikan persoalan kami masing-masing. Yang saya ingat, sebelum meninggal, almarhum Bapak pernah bicara, bahwa saya boleh pergi kemana saja sesuka hati saya, jika sudah punya uang sendiri.

Dan begitulah. Ketika sudah punya penghasilan, saya lari kesana kesini. Mengumbarkan pandangan pada sudut-sudut bumi yang tak banyak orang tatap. Menapaki batuan pada jalanan sepi yang dihindari orang kebayakan, membekukan diri pada malam-malam gerimis dan berkabut di sela-sela perdu yang penuh lumut dan pacet. Saya menggila.

Kemudian, saya disodorkan Sabtu Bersama Bapak. Sebuah buku karya Aditya Mulya oleh istri saya. Malah, saya diajak nonton pemutaran perdana film tersebut. Pagi-pagi buta, kami sudah berkereta api dari Bogor ke Depok untuk memburu tiket pemutaran perdana filmnya, karena hanya bisa didapat dari membeli buku dan hanya ada sepuluh pada beberapa toko buku rekanan.

Saya terkejut. Menyaksikan penokohan film yang mengalir dengan sangat lembut. Emosi-emosi yang memancar dari para pemerannya. Menyaksikan raut muka yang tak pernah letih atau membosankan untuk terus ditatap. Sejenak, saya melupakan apa itu isi dan dialognya.

Beberapa kali, saya menyaksikan film yang didasaran pada sebuah buku. Baru-baru ini, menyaksikan pemutaran perdana film Jilbab Traveler : Love Sparks in Korea, yang menurut saya terlalu “drama” dan terlalu “iklan”. Dalam film itu, betapa komoditi tempat-tempat wisata diekspos dengan cara yang dramatik dan kelewat haru-biru. Tempat-tempat bagus yang kemudian jadi terlalu melankolis, karena bumbu drama yang dituang berlebihan, dan kuah yang luber membanjir, dan bahkan terlalu “asin” buat disesap sebagai penghibur mata dan pikiran. Prosesi premiernya sendiri, nampak terlalu riuh. Ada lebih dari 2000 orang berkumpul untuk menyaksikan pemutaran perdana film nya. Mengapa mereka tidak berfikir untuk memutarnya di Monas sekalian? Jadi bisa lebih banyak yang nonton?

Sabtu Bersama Bapak, dikemas lebih baik. Sinematrograpi dan tone color nya dibuat cukup dramatik. Saya tidak menangkap ada hal yang terlalu dipaksakan dalam setting dan penokohan utamanya. Dialog yang supel. Bukan bahasa sastra yang di dengar pada film-film tahun 80-an. Bukan pula bahasa “alay” yang sering kali muncul pada film-film bergenre drama belakangan ini. Luwes.

Entahkah, apa saya yang terlalu sentimentil. Namun rasanya, film dan bukunya, tidak akan sia-sia untuk ditonton. Saya tidak suka konfilk yang terlalu pelik. Dan disini, saya tidak berpapasan dengan mereka, atau terlalu dalam berfikir akan bertemu dengan mereka. [IBM/0716]

Tagged , , , , , ,

2 thoughts on “Sabtu Bersama Bapak

  1. cumilebay says:

    gw meleleh saat ada quote “Jangan pernah biarkan ibumu sendiri karena itu surgamu”

Leave a comment