MASJID TERAPUNG & “NYASAR” PULANG

DSC_0567 copy

Matahari di pulau Penang seperti ada lima, hari itu. Udara panas sekali. Saran saya, kalau kesini, jangan lupa bawa topi atau payung, pakai tabir surya, dan pakai kaca mata. Lebih-lebih jika bepergian pada musim panas seperti kami begini. Dari informasi di bandara, hujan tidak turun di Penang dari sejak sebulan lebih lamanya. Pantas saja udara menjadi sangat panas dan lembab.

Sore merambat naik. Kami bergegas untuk pulang. Namun lagi-lagi lapar menyerang, karena terakhir makan kami pada pagi ketika kami berangkat dari bandara. Menyusuri jalan turun dari Bukit Bendera, jalanan sudah mulai ramai. Macet disana sini. Tante Ira yang jadi sopir, juga sudah kelihatan letih, pun semua anggota. Sebelum isi perut, kami isi bensin mobil dulu. Di sini, bensin diisi dengan sistem self servis.DSC_0554 copy

Makan siang kami yang agak telat, memilih sebuah warung pinggir jalan ala Thailand. Padahal yang jual orang Penang asli, yang bahasa melayu nya kental sekali. Saya yang lumayan bicara melayu saja, pusing dibuatnya.DSC_0559 copy

Tujuan kami berikutnya adalah Masjid Apung. Lokasinya ada di Jalan Batu Feringhi, Tanjung Bungah. Masjid terapung ini, maksudnya adalah, masjid yang dibuat menjorok ke pantai. Jadi kalau sedang pasang, kolong masjid yang dibuat memang lebih tinggi, akan terisi air dan seolah-olah mengapung diatas permukaan air laut. Sayangnya, hari ini, laut sedang surut. Jadi, pemandangan masjid terapung tidak sempurna betul kami lihat.

Niat untuk sholat Ashar, juga batal kami lakukan. Karena, di Malaysia itu ketat betul kalau mau masuk masjid. Laki-laki tidak boleh pakai celana pendek, dan perempuan tidak boleh jika tidak menutup aurat. Saya dan dua adik sepupu, pakai celana pendek. Meski bawa sarung, tapi dan bisa masuk saya memilih untuk tunda saja. Kejadian sama, saya alami ketika berkunjung ke Masjid Putrajaya dan Masjid Jamek di Kuala Lumpur. Di tiap-tiap masjid, biasanya, ada petugas yang akan memberikan jubah kepada pengunjung yang akan masuk ke area masjid.DSC_0568 copy

Sampai di George Town, malam sudah mulai mendekap kota yang makin sibuk. Lampu-lampu jalanan yang temaram, menyulitkan kami melihat petunjuk arah. Jadilah, kami “nyasar” di tengah keramaian kota yang macet itu.DSC_0572 copy

Disebuah persimpangan, kami memutuskan untuk berhenti dan mencari jalan. Sebenarnya, dari peta, lokasi penginapan sudah dekat. Namun, ada beberapa jalur satu arah yang cukup merepotkan. Si Bapak yang sedang berdiri didepan hotel tempat beliau bekerja, saya hampiri. Meski sudah menjelaskan dengan rinci, namun beliau melihat ragu di wajah saya barangkali. Hingga, beliau menawarkan diri untuk ikut bersama kami dan menunjukan jalan ke home stay. Jadilah kami bercerita sepanjang jalan. Si bapak, yang orang Nepal, sudah menetap hampir empat tahun di Penang, dan bekerja di sebuah hotel. Lupa bertanya nama, tapi tidak lupa berterimakasih. Si Bapak, turun di jalan dekat hotel. Kata beliau, rumahnya tidak jauh lagi dan bisa jalan kaki. [ Kami berdoa untuk mu, Pak. Semoga sehat selalu].DSC_0584 copy

Malam itu, kami masih sempat jalan kaki mencari angin, mengitari kota. Melihat kehidupan malam di Penang. Dan minum teh tarik di kedai pinggir jalan dekat home stay. [ibm0416]

Tagged ,

Leave a comment